Einstein Berotak Tidak Istemewa, tapi kok Jenius?



Tidak hanya terobosan teori dan persamaan revolusioner, Albert Einstein juga mewariskan bagian tubuhnya yang menyimpan banyak misteri: otak.

Ketika begawan fisika Abad ke-20 ini wafat pada tahun 1955, di usia 76 tahun, Thomas Harvey, dokter yang mengautopsinya, sengaja menyimpan organ otak Einsten. Sang dokter mengiris-iris otaknya, menyelidiki kerumitan otak tersebut di bawah mikroskop. Dia juga memotret otak itu, dan menghasilkan 14 foto dari pelbagai sudut pandang.

Hingga saat ini tidak terhitung banyaknya ilmuwan yang melakukan studi, pemeriksaan, dan menganalisis organ yang berada di dalam kepala pemikir tenar dari era modern itu. Awalnya, diduga kejeniusan Einstein disebabkan otaknya yang berbeda, salah satunya adalah ukuran yang lebih besar. Atau, pada tahun 1985, studi yang dilakukan  Diamond et al mengklaim bahwa otak Einstein punya lebih banyak sel glia. Sel glia atau neuroglia berfungsi untuk menunjang dan melindungi neuron (jenis sel lain), sedangkan neuron membawa informasi dalam bentuk pulsa listrik yang dikenal sebagai potensi aksi. Makin tinggi jumlah sel glia mungkin menunjukkan kekuatan otak yang lebih tinggi.

Akan tetapi, riset teranyar yang dilakukan Dr Terence Hines dari Pace University, New York, menunjukkan bahwa penelitian sebelumnya cacat. Kesimpulan yang dihasilkan tim tersebut berpendapat; tidak ada yang istimewa dalam otak Einstein. Otak sang ilmuwan sama dengan organ manusia lainnya. Demikian dilaporkan oleh Neuroskeptic, Discover Magazine.

Menurut Hines, 28 pengujian yang dilakukan pada tahun 1985 membandingkan otak Einstein dengan otak ”kontrol” lainnya. Dan hanya satu yang dianggap akurat serta signifikan oleh para peneliti. Lebih jauh lagi, Hines mengklaim bahwa analis mikroskopik ”menemukan secara esensial tidak ada perbedaan antara otak Einstein dengan kontrol.”

Studi masa lalu yang paling terkenal menggunakan irisan otak Einstein. Tapi Dr Hines mengucapkan, ”mempercayai bahwa analisis dari satu atau beberapa irisan kecil otak tunggal bisa mengungkapkan sesuatu yang berhubungan dengan kemampuan kognitif tertentu dari otak, adalah naif,”.

Hines menyarankan bahwa pengamat harus melakukan ”tes buta” ketika membandingkan otak Einstein dan otak lainnya: untuk memastikan apakah mereka melihat sesuatu yang membuatnya menonjol. ”Jika memang ada perbedaan aktual, metode eksperimen seperti itu akan mengungkapnya,” tulisnya.

Einstein dikenal pernah menulis tentang dirinya sendiri, bahwa dia merasa bisa mengontrol otaknya. Dan pikirannya dirasa tidak hanya visual, tetapi juga ”berotot”.

Dr Hines juga mengenyampingkan pengakuan Eisntein tersebut, dianggap tidak bernilai dalam ilmu saraf. Menurut Hines, tidak mungkin untuk melakukan penelitian otak yang akurat berdasarkan beberapa hal yang pernah dikatakan orang tersebut.


Sebelumnya, dalam foto yang dipublikasikan 16 November 2012 di jurnal Brain, mengungkap, Einstein memiliki lipatan di wilayah abu-abu otaknya, tempat pikiran sadar (concious) berada. Secara khusus, lobus frontal (frontal lobes), wilayah yang berkaitan dengan pikiran abstrak dan perencanaan, tidak biasanya memiliki lipatan rumit. ”Ini adalah bagian paling istimewa, canggih dalam otak manusia,” kata Dean Falk, penulis pendamping laporan, sekaligus antropolog dari Florida State University, menyinggung soal wilayah abu-abu itu. ”Dan milik Einstein sangat luar biasa.”

Tim ilmuwan juga menemukan, secara keseluruhan, otak Einstein punya lipatan yang jauh rumit di cerebral cortex, materi abu-abu di permukaan otak yang bertanggung jawab atas pikiran sadar. Lebih gamblang: makin tebal materi abu-abu, makin tinggi IQ seseorang.

Falk mengatakan, banyak ilmuwan meyakini jika makin banyak lipatan, makin banyak area ekstra untuk proses mental, yang memungkinkan lebih banyak koneksi antara sel otak.

Dengan makin banyaknya koneksi antara bagian yang saling berjauhan dari otak, seseorang akan mampu membuat ”lompatan mental” menggunakan sel-sel otak yang jauh untuk menyelesaikan persoalan kognitif.

Sementara, prefrontal cortex, yang memainkan peranan kunci dalam pikiran abstrak, membuat prediksi dan perencanaan, serta mempunyai pola lipatan rumit di otak Einstein.

Itulah yang barangkali membantu fisikawan ini mengembangkan teori relativitas. ”Dia memikirkan sejumlah eksperimen, ketika dia membayangkan dirinya sendiri menaiki balok-balok cahaya,” kata Falk, ”bagian prefrontal cortex-nya mungkin sangat aktif.”

Tidak hanya itu, bagian lobus oksipital (occipital lobes), yang bertanggung jawab pada pemrosesan visual, juga menunjukkan adanya lipatan ekstra.

Falk menambahkan, lobus parietal (parietal lobes) kiri dan kanan Einstein tidaklah simetris. Meski demikian, belum diketahui pengaruhnya atas kejeniusan ilmuwan itu.



Tidak hanya hasil studi yang kerap bertentangan, otak Einstein sendiri merupakan pemicu kontroversi. Sebelum kematiannya pada 1955, dikabarkan bahwa dia meminta seluruh tubuhnya dikremasi. Tetapi ahli patologi Thomas Stoltz Harvey memutuskan untuk mengeluarkan otaknya hanya 7,5 jam setelah kematian sang ilmuwan.

Meski melawan wasiat, Hans, putra Einstein, mengizinkan otak ayahnya digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Terkait

Description: Einstein Berotak Tidak Istemewa, tapi kok Jenius? Rating: 4.5 Reviewer: Unknown ItemReviewed: Einstein Berotak Tidak Istemewa, tapi kok Jenius?
kabin baca
kabin baca Updated at: 08.26

0 komentar:

Posting Komentar